KALAHNYA LULUSAN PERGURUAN TINGGI OLEH PEMANDU KAROKE
Matahari sedang sombong dengan sengatnya, panas adalah kawan lama yang memang sudah menjadi penghuni setia negara-negara garis khatulistiwa. Cahaya matahari seperti tidak menyebar, dia bagaikan tirai yang menghujam kulit dan dagingmu, daging yang tidak terlalu tebal. Karena daging itu tumbuh dari pangan biji-bijian murah.
Kugulung layar dari atas hingga bawah dari gawai cerdas yang kugenggam, untuk mengalihkan perhatian dari hujaman matahari yang tidak mungkin diingkari. Perhatianku ditawan oleh sebuah postingan yang ada di aplikasi X, terpampang seorang perempuan berambut hitam panjang, dengan bulu mata yang menjunjung, mata lebar indah menghiasi wajah, yang guratan tua saja enggan untuk singgah.
Perempuan itu mengenakan gaun a - line yang hampir berbaur dengan lekuk-lekuk yang tersurat dengan indah pada tubuhnya. Dia menggenggam secarik kertas, diangkatnya tinggi-tinggi hingga hampir menyentuh bibir kamera. Ia menunjukkan dengan bangga serupa anak kecil yang baru saja mendapatkan sertifikat penghargaan dari sekolah. Menandakan bahwa dia telah memenangkan lomba.
Tertulis dengan jelas, "Rp 4.000.000" dalam bilangan, walaupun angka itu merupakan "bilang"-an, tetapi tidak ada suara yang terdengar. Hanya saja pujangga-pujangga data telah berdalil dengan jelas. Bahwa angka tidak akan pernah bohong. Angka itu sahih.
"Ini gaji aku jadi LC selama dua minggu, gimana nih kabarnya yang kuliah sampe S2?"
Caption yang sangat kuat bahkan sekuat daya tarik pada gumpalan daging di dadanya yang menyembul hampir sama sombongnya seperti matahari hari itu. Hanya saja gaunnya tahu apa yang harus dia perbuat, agar tidak menciptakan diintergrasi sosial. Walaupun di daerah ini, payudara adalah simbol pemersatu bangsa. Akan tetapi peradaban tetap butuh selembar gaun, walaupun kurangnya bahan kain bisa menjadi hal yang bisa dipertimbangkan.
Entah amarah apa yang digenggam oleh perempuan itu terhadap para lulusan S2. Dan aku rasa bukan hanya perempuan tersebut yang menyimpan dendam. Kehidupan ini juga memiliki kekejaman terhadap beberapa lulusan S2 di negara ini.
Dalam penjelajahanku di internet sering aku temui artikel, pemuda-pemuda lulusan S2 yang kesulitan mencari kerja. Atapun jika mereka berkerja, gaji yang mereka dapatkan bahkan bisa lebih kecil dari anak-anak lulusan SMA yang sudah bekerja lebih lama disana.
Kekejaman apa yang telah dilakukan lulusan S2, hingga mungkin kehidupan karir mengoyak hidupnya. Hingga mbak-mbak LC bisa dengan mudah membandingkan kehidupan bisingnya dengan kehidupan lulusan perguruan tinggi.
Lalu apakah guna, kuliah hingga S2?
Jujur saya sendiri tidak kuliah sampai S2, tapi sebagai seseorang yang juga mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, dan telah hidup cukup lama di lingkungan akademis. Saya merasakan bahwa kuliah itu memang penting. tapi saya sendiri sempat kebingungan untuk mencari jawaban yang pasti. Apa makna kuliah. Hingga suatu saat saya mengikuti kelas kesadaran.
Untuk menjawab apa pentingnya kuliah tidak semudah, dengan jawaban untuk mencari kerja, dengan skill yang mumpuni. Karena lulusan SMK juga bisa bekerja, bahkan seseorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekalipun bisa dengan mudah menjalani jalur karir. Kamu bisa menemukan di daerah Jepara seorang lulusan SD bisa memahat dan bisa bekerja dengan baik.
Tentu tidak bisa juga dijawab hanya dengan untuk membangun pola pikir atau hanya untuk membangun relasi, walaupun itu juga bukan jawaban yang salah. Akan tetapi membangun relasi dan membentuk pola pikir, bisa juga dengan banyak baca buku, dan membangun relasi bisa dengan bergaul. Itu semua bisa didapatkan tanpa harus berkuliah.
Jadi sungguh kesalahan pikir, jika orang berkuliah hanya untuk mencari kerja. Menrut saya ini sudah menjadi mitos yang dipercaya oleh sebagian orang yang mengeyam pendidikan tinggi. Bagi saya berkuliah tujuan utamanya adalah menyelesaikan problem kebudayaan. Sehingga sangat dituntut untuk mencipta, entah mencipta paradigma ataupun menciptakan sebuah karya yang dapat mempermudah kehidupan manusia sehingga manusia bisa tetap menjalani hidup bahkan jika seandainya ia diliputi oleh penderitaan.
Kampus sendiri sebagai wadah untuk mempertemukan orang-orang dari berbagai daerah yang memiliki cita-cita yang sama. Jadi memang kampus adalah tempat yang baik untuk menjadi lab untuk terjadinya diskursus. Hingga mnanti anak-anak siap menciptakan "the Public Sphere" dimana ada ruang publik untuk saling mendiskusikan problem sosial yang paling up to date, untuk segera dicarikan solusi jangka panjang.
Jika para peminat pendidikan ini memegan teguh bahwa mereka adalah agent agent pembeharuan dalam kebudayaan. Maka mereka tidak akan merasa minder kepada pemandu karoke yang congkak...
Komentar
Posting Komentar