RASA SYUKUR YANG PALSU DAN SENDI-SENDI PENERIMAAN

Belum lama ini saya menemukan konten di Instagram, dimana si content creator -nya mengalami sebuah kegelisahan yang mungkin umum dialami oleh orang-orang. Nama si content creator ini  adalah @Edowipi. Saya panggil saja dengan mas Edo atau Edo saja ya..

Edo memancarkan wajah penuh kekecewaan, dahinya berkerut keras, sehingga menghasilkan gurat-gurat garis yang sangat jelas. Dalam konten tersebut, Edo mengutarakan kegelisahannya, "Mengapa bersyukur itu harus dengan membandingkan kondisi diri dengan kondisi orang lain yang lebih buruk daripada kita? Apakah cara bersyukur haruslah seperti itu?"

Edo menceritakan pengalamannya ketika ada penceramah yang berdakwah dengan statment yang kuat tentang rasa bersyukur. 

"JANGAN MENGELUHKAN ANAK_ANAKMU YANG REWEL, KARENA ITU ADALAH IMPIAN IBU-IBU YANG MANDUL!!"

Ketidak setujuan Edo terhadap statment tersebut, terpancar pada raut dan warna suaranya yang sudah semakin sumbang karena ia merasakan bahwa ada yang tidak beres daripada stament yang telah diucapkan oleh pendakwah tersebut.

Pada tulisan kali ini, saya mencoba mengutarakan penemuan dan opini saya. Saya juga pernah mengalami kegelisahan yang serupa. Tapi ketika dulu saya mengikuti pendidikan ilmu kesadaran. Saya lambat laun menemukan gambaran besar. Sehingga menemukan sebuah pendapat yang mungkin bisa meringkas perjalanan teman-teman yang lain yang mengalami kegelisahan yang sama. Sehingga para pembaca di blog ini bisa selesai dengan kondisi kolektif ini dan berdamai dengan diri sendiri.

Menurut saya kondisi ngebanding-bandingkan kondisi diri dengan orang lain ini untuk akhirnya bersyukur, adalah kesyukuran yang palsu, atau rasa syukur yang dipaksakan. oleh karena itu kecenderungan mencari "korban"untuk dibandingkan adalah lumrah adanya. karena sebuah kepalsuan harus ditutupi dengan kepalsuan yang lain. 

Menurut saya, kejadian/ kondisi yang memang tidak patut disyukuri haruslah diakui saja sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Seperti pada konteks anak yang rewel, memang kerewelan anak adalah sesuatu yang "menyebalkan" dan memang sangat wajar seseorang terganggu akannya. 

Justru jika mensyukuri kondisi tersebut, malah akan menyebabkan kemalasan untuk mencari solusi. karena kepekaan akan identifikasi masalah udah cacat dari awal, dikarenakan menganggapkan sesuatu yang tidak menyenangkan sebagai sesuatu yang harus disyukuri dan dibandingkan dengan kondisi diluar diri, dalam konteks ini si ibu mandul. Sehingga si ego dalam diri, merasa dirinya lebih baik daripada sesuatu diluar dirinya. padahal dia yang tadinya sudah menyadari bahwa anak rewel ini adalah sebuah masalah, malah menjadi hakim bagi kondisi di luarnya. Bukan malah mengkoreksi, dan merefleksikan apa yang harus dia lakukan?

Lalu apa yang harus dilakukan dalam kondisi tidak menyenangkan ini, kalau hal yang sebaiknya kita lakukan adalah tidak bersyukur akan hal tersebut? 

Pada kondisi tidak menyenangkan, tentu saja kita boleh mengeluh akan hal tersebut. dan memang harus dikeluhkan. Supaya diri mengenali emosi yang muncul, dan kondisi sepeti ini bukan dihadapi dengan rasa syukur, tapi harus dihadapi dengan penerimaan ( Acceptence)

Usaha untuk mengalami energi penerimaan itu memang seringkali diiringi dengan keluhan, tapi tetap dilakoni. Akan tetapi si diri terlatih untuk mengetahui bahwa ini adalah sebuah masalah (kondisi yang tidak diingginkan/ kondisi yang tidak ideal).

Memang salah satu metode penerimaan itu adalah membandingkan kondisi diri dan kondisi orang lain. Cara ini juga cukup lumrah, dan dalam ilmu sosial di kampus-kampus-pun, metode pembanding (comparation) juga sahih dalam social science. Akan tetapi metode membandingkan untuk mensyukuri kondisi hanya akan berhenti pada posisi energi Pride, kondisi syukur seperti itu akan sangat mudah untuk runtuh. ketika dia mengalami kegagalan. Ketika yang bersangkutan terjerumus dalam kegagalan yang dalam. sehingga dia harus terprosok pada tier terbawah dari struktur sosial.

Tapi memang seperti itulah proses kehidupan, yang tidak perlu direspon secara berlebihan, justru ketika kita terganggu akan suatu hal, dalam konteks ini adalah membanding-bandingkan. Itu artinya kita masih belum clear dengan konteks tersebut. Dan akan cenderung membawa kita selalu gelisah, atau bahkan menjadi pelaku aktif yang suka membanding-bandingkan hidup kita dengan hidup orang lain.

Berdamai dengan hal tersebut memang sulit, karena memang sangat tricky, kita gk boleh terganggu dengan konsep tersebut, tapi dengan kita selalu memikirkan itu, kecenderungan untuk membanding-bandingkan akan semakin besar. 

Mungkin segini dulu tulisan saya, semoga bermanfaat bagi keberlangsungan hidup teman-teman yang sedang mengalami-nya. Dan pembahasan-pembahasan berikutnya akan menjadi menarik, jika pembaca sekalian sudah pernah melihat MAP OF CONSIOUSNESS - David R Hawkins. Karena nanti kita bisa melihat kita sedang terlarut dengan energi apa dalam kehidupan. 

Komentar

Postingan Populer